Rumah Alam Iwan
”Lestarikan alam hanya celoteh belaka....” Itu kritik Iwan Fals lewat lagu ”Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”. Bagi Iwan, merawat alam bukan hanya celoteh, tetapi tindakan. Bukan kebetulan kalau spirit itu tergambar di rumahnya.
Myrna Ratna dan Frans Sartono
Hujan baru saja berhenti di Desa Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Sore sudah menjelang. Bau tanah yang baru tersiram hujan menyesap hidung. Suara jangkrik sesekali terdengar di kejauhan.
Dengan bersandal jepit Iwan mengajak kami berkeliling halaman rumahnya yang asri. Halaman yang diidamkan akan menjadi hutan kecil dalam beberapa tahun mendatang. Materinya sudah tersedia: lahan yang sangat luas, pohon-pohon rindang yang sudah berbuah, bentangan gunung yang menjadi ”background”, dan pemilik rumah yang cinta tanaman.
”Nih mangga gedong gincu. Aku pernah baca katanya sih buah ini makanan favorit di Gedung Putih. Enggak tau deh bener atau enggak,” kata Iwan sambil terkekeh.
Di sekeliling pohon mangga yang rimbun itu ada juga pohon manggis, rambutan, duku, kecapi, pepaya, pisang, dan masih banyak lagi. Rimbunan pohon ini ”dibelah” oleh jalan setapak, yang katanya sering dijadikan jogging track oleh Iwan.
Dari semua pohon buah yang ada, Iwan mengaku paling suka menyantap pepaya. ”Biar berkicaunya tambah mantap ha-ha-ha,” kata Iwan berseloroh.
Selain pohon-pohon buah, sebagian tanah juga ditanami sayur-sayuran, seperti bayam, cabai, mentimun, selada. Paling tidak, kebutuhan sayuran sehari-hari keluarga ini sebagian terpenuhi dari halaman rumah.
Di salah satu sudut yang agak terbuka, kami sejenak menghentikan langkah ketika melewati tiga buah makam. ”Ini makam anak saya, Galang. Yang itu makam adik, satunya lagi makam yang punya tanah dulu,” katanya.
Tak jauh di seberang makam, terletak beranda yang dilengkapi seperangkat kursi dan meja. Di situ pula kami berbincang dengan Iwan yang memiliki nama lengkap Virgiawan Listanto itu. ”Itu tempat favorit saya. Saya paling suka duduk di situ,” katanya.
Iwan kemudian mengenalkan kami pada Mang Jaja, yang disebutnya sebagai ”menteri pertanian”. Selain memilih bibit, menanam dan merawat kebun, Mang Jaja juga bertanggung jawab mengolah sampah untuk dijadikan pupuk. ”Ini tungku untuk pembakaran sampah. Sampah kami pilah-pilah, ada juga yang dijadikan pupuk,” kata Iwan sambil menunjuk tempat pengolahan sampah yang berdinding tembok.
Ruang publik
Sebagian besar ruang di kediaman rumah Iwan ditujukan bagi kepentingan publik. Ketika memasuki pintu gerbang rumahnya, misalnya, terdapat bangunan yang digunakan untuk perpustakaan umum, kantor untuk manajemen Tiga Rambu. Di dekatnya tersedia aula besar yang dindingnya dipenuhi cermin. Aula ini biasa digunakan untuk latihan Iwan bersama bandnya. Tetapi bisa juga bisa digunakan untuk latihan tari anak-anak yang tinggal di sekitar kediamannya.
Di sebelah bangunan itu kini dibangun sekolah musik, yang terdiri dari tiga kelas dan satu studio. ”Saya pengin mereka bisa belajar di luar kelas, seperti anak-anak yang belajar biola di Taman Suropati Jakarta,” katanya.
Memasuki rumah utama, yang pertama terlihat adalah ruang makan yang bersebelahan dengan studio musik. Studio ini khusus digunakan Iwan berlatih musik. Ruangan ini dilengkapi seperangkat alat band dan beberapa instrumen musik petik. Ruangan ini juga dilengkapi sejumlah lukisan karyanya.
”Saya masih pengin ngelukis, tetapi enggak ada waktunya. Dulunya dinding ini dipenuhi sama lukisan saya semua, tetapi terus ditutup untuk lapisan kedap suara,” kata Iwan yang sewaktu kuliah di IKJ mempelajari seni musik.
Ia kemudian mengajak kami ke beranda depan yang berada di lantai dua. Beranda itu menghadap ke lapangan rumput yang luas, dan di kejauhan, di balik lapisan awan, menyembul puncak gunung. Sementara di pinggir lapangan hijau berderet sejumlah pohon langka, seperti sukun, jamblang putih, dan matoa.
”Lapangan ini dipakai kalau kita bikin konser atau acara, seperti waktu peluncuran albumku yang terakhir. Kalau pas tujuh belasan lapangan ini bisa dipakai untuk pertandingan badminton, bisa jadi tiga lapangan,” katanya.
Para tamu ataupun musisi yang terlibat dalam acara-acara yang diselenggarakan di kediaman Iwan biasanya menginap di situ. ”Ada beberapa kamar tamu dan kamar mandinya sekalian,” lanjutnya.
Ladang jagung dan hari tua
Menyeberangi halaman yang luas, terhampar ladang jagung dan sebuah saung untuk bersantai. Apa mimpinya setelah mencapai usia 50 tahun? ”Aku menjalani saja, dari detik ke detik, dari waktu ke waktu, gimana caranya bermakna.”
Dengan semua kesuksesan, popularitas, dan dukungan yang diperoleh Iwan, sebetulnya tak salah kalau dia merasa sudah ”cukup”. Tetapi, kata pensiun tak ada di dalam kamusnya.
”Pensiun mau ngapain? Di musik enggak ada pensiun, beda sama olahraga. Di musik semakin tua semakin bagus, karena ini urusan perasaan. Lihat saja Mick Jagger, Titik Puspa, pemusik tradisi yang makin tua makin utuh, touch-nya makin oke. Saat ini Yos (istrinya sekaligus manajernya) sedang merancang perjalanan untuk aku,” kata ayah dari Galang Rambu Anarki (1982-1997), Anissa Cikal Rambu Basae (25), dan Rayya Rambu Robbani (7) itu.
Yang mungkin membuatnya merasa ”berumur” adalah ketika melihat anak-anaknya bertumbuh dengan cepat. ”Anak saya yang tertua (Anissa) sudah 25 tahun, dia sudah punya target. Tetapi ya yang namanya ayah, kalau dia pulang malam masih suka deg-degan. Tetapi mau nanya-nanya malu sendiri, kan bukan anak kecil lagi. Apalagi dia sudah bantu ibunya jadi manajer,” kata Iwan.
Iwan mengakui, kedekatan keluarganya justru dibumbui dengan ”berantem” di antara mereka. ”Paling sering sama anak perempuan saya, misalnya beda pendapat soal artistik panggung, dan lain-lain. Nah, kalau berantem bisa enggak ngomong tuh, bisa tiga hari ha-ha-ha. Ntar baikan lagi. Kadang saya yang ngalah, kadang dia yang ngalah, kadang ibunya yang nengahin, kadang kita bertiga enggak mau ditengahin, terus adiknya yang paling kecil yang nengahin, pokoknya serulah,” kata Iwan dengan terbahak.
Scan by dOeL, Minggu Kompas 20 Juni 2010
Dengan bersandal jepit Iwan mengajak kami berkeliling halaman rumahnya yang asri. Halaman yang diidamkan akan menjadi hutan kecil dalam beberapa tahun mendatang. Materinya sudah tersedia: lahan yang sangat luas, pohon-pohon rindang yang sudah berbuah, bentangan gunung yang menjadi ”background”, dan pemilik rumah yang cinta tanaman.
”Nih mangga gedong gincu. Aku pernah baca katanya sih buah ini makanan favorit di Gedung Putih. Enggak tau deh bener atau enggak,” kata Iwan sambil terkekeh.
Di sekeliling pohon mangga yang rimbun itu ada juga pohon manggis, rambutan, duku, kecapi, pepaya, pisang, dan masih banyak lagi. Rimbunan pohon ini ”dibelah” oleh jalan setapak, yang katanya sering dijadikan jogging track oleh Iwan.
Dari semua pohon buah yang ada, Iwan mengaku paling suka menyantap pepaya. ”Biar berkicaunya tambah mantap ha-ha-ha,” kata Iwan berseloroh.
Selain pohon-pohon buah, sebagian tanah juga ditanami sayur-sayuran, seperti bayam, cabai, mentimun, selada. Paling tidak, kebutuhan sayuran sehari-hari keluarga ini sebagian terpenuhi dari halaman rumah.
Di salah satu sudut yang agak terbuka, kami sejenak menghentikan langkah ketika melewati tiga buah makam. ”Ini makam anak saya, Galang. Yang itu makam adik, satunya lagi makam yang punya tanah dulu,” katanya.
Tak jauh di seberang makam, terletak beranda yang dilengkapi seperangkat kursi dan meja. Di situ pula kami berbincang dengan Iwan yang memiliki nama lengkap Virgiawan Listanto itu. ”Itu tempat favorit saya. Saya paling suka duduk di situ,” katanya.
Iwan kemudian mengenalkan kami pada Mang Jaja, yang disebutnya sebagai ”menteri pertanian”. Selain memilih bibit, menanam dan merawat kebun, Mang Jaja juga bertanggung jawab mengolah sampah untuk dijadikan pupuk. ”Ini tungku untuk pembakaran sampah. Sampah kami pilah-pilah, ada juga yang dijadikan pupuk,” kata Iwan sambil menunjuk tempat pengolahan sampah yang berdinding tembok.
Ruang publik
Sebagian besar ruang di kediaman rumah Iwan ditujukan bagi kepentingan publik. Ketika memasuki pintu gerbang rumahnya, misalnya, terdapat bangunan yang digunakan untuk perpustakaan umum, kantor untuk manajemen Tiga Rambu. Di dekatnya tersedia aula besar yang dindingnya dipenuhi cermin. Aula ini biasa digunakan untuk latihan Iwan bersama bandnya. Tetapi bisa juga bisa digunakan untuk latihan tari anak-anak yang tinggal di sekitar kediamannya.
Di sebelah bangunan itu kini dibangun sekolah musik, yang terdiri dari tiga kelas dan satu studio. ”Saya pengin mereka bisa belajar di luar kelas, seperti anak-anak yang belajar biola di Taman Suropati Jakarta,” katanya.
Memasuki rumah utama, yang pertama terlihat adalah ruang makan yang bersebelahan dengan studio musik. Studio ini khusus digunakan Iwan berlatih musik. Ruangan ini dilengkapi seperangkat alat band dan beberapa instrumen musik petik. Ruangan ini juga dilengkapi sejumlah lukisan karyanya.
”Saya masih pengin ngelukis, tetapi enggak ada waktunya. Dulunya dinding ini dipenuhi sama lukisan saya semua, tetapi terus ditutup untuk lapisan kedap suara,” kata Iwan yang sewaktu kuliah di IKJ mempelajari seni musik.
Ia kemudian mengajak kami ke beranda depan yang berada di lantai dua. Beranda itu menghadap ke lapangan rumput yang luas, dan di kejauhan, di balik lapisan awan, menyembul puncak gunung. Sementara di pinggir lapangan hijau berderet sejumlah pohon langka, seperti sukun, jamblang putih, dan matoa.
”Lapangan ini dipakai kalau kita bikin konser atau acara, seperti waktu peluncuran albumku yang terakhir. Kalau pas tujuh belasan lapangan ini bisa dipakai untuk pertandingan badminton, bisa jadi tiga lapangan,” katanya.
Para tamu ataupun musisi yang terlibat dalam acara-acara yang diselenggarakan di kediaman Iwan biasanya menginap di situ. ”Ada beberapa kamar tamu dan kamar mandinya sekalian,” lanjutnya.
Ladang jagung dan hari tua
Menyeberangi halaman yang luas, terhampar ladang jagung dan sebuah saung untuk bersantai. Apa mimpinya setelah mencapai usia 50 tahun? ”Aku menjalani saja, dari detik ke detik, dari waktu ke waktu, gimana caranya bermakna.”
Dengan semua kesuksesan, popularitas, dan dukungan yang diperoleh Iwan, sebetulnya tak salah kalau dia merasa sudah ”cukup”. Tetapi, kata pensiun tak ada di dalam kamusnya.
”Pensiun mau ngapain? Di musik enggak ada pensiun, beda sama olahraga. Di musik semakin tua semakin bagus, karena ini urusan perasaan. Lihat saja Mick Jagger, Titik Puspa, pemusik tradisi yang makin tua makin utuh, touch-nya makin oke. Saat ini Yos (istrinya sekaligus manajernya) sedang merancang perjalanan untuk aku,” kata ayah dari Galang Rambu Anarki (1982-1997), Anissa Cikal Rambu Basae (25), dan Rayya Rambu Robbani (7) itu.
Yang mungkin membuatnya merasa ”berumur” adalah ketika melihat anak-anaknya bertumbuh dengan cepat. ”Anak saya yang tertua (Anissa) sudah 25 tahun, dia sudah punya target. Tetapi ya yang namanya ayah, kalau dia pulang malam masih suka deg-degan. Tetapi mau nanya-nanya malu sendiri, kan bukan anak kecil lagi. Apalagi dia sudah bantu ibunya jadi manajer,” kata Iwan.
Iwan mengakui, kedekatan keluarganya justru dibumbui dengan ”berantem” di antara mereka. ”Paling sering sama anak perempuan saya, misalnya beda pendapat soal artistik panggung, dan lain-lain. Nah, kalau berantem bisa enggak ngomong tuh, bisa tiga hari ha-ha-ha. Ntar baikan lagi. Kadang saya yang ngalah, kadang dia yang ngalah, kadang ibunya yang nengahin, kadang kita bertiga enggak mau ditengahin, terus adiknya yang paling kecil yang nengahin, pokoknya serulah,” kata Iwan dengan terbahak.
Scan by dOeL, Minggu Kompas 20 Juni 2010
tulisannya bikin sakit di mata doel, merahnya nendang banget ...
BalasHapushahahaha..beda monitor beda liatnya :) (dikopi aja mas...)
BalasHapushehehe .... di blok dah ...
BalasHapus:-))
latar item jangan dipaksain ketemu ama warna merah. mata q sakit
BalasHapusnah kan, gw bilang juga apah ...
BalasHapus.....
BalasHapusemang barusan bilang apaan [kabur yg jauh]
pale kacamata item dong :)
BalasHapussesuao css nya :D
BalasHapusmerendah nih artikel di kompasnya, ga disebutin luas tanah rumahnya 6 H, kwkwkwkwk....
BalasHapuswhuahahaha...
BalasHapusGue nggak protes soal warna :))
BalasHapusyg penting IF nya tetep ganteng yah Mbak Wi :))
BalasHapusWooo. 6 ha to. Gila juga. Dulu mungkin murah banget ya
BalasHapuskatanya sih beli nya taun 80 an ..:)
BalasHapusOoo beranda.. kirain keranda.... abis ngomongin kuburan siii.. :-))
BalasHapusAsri-an mané dibandingin rumahnyé Doel di Bogor ;-)
BalasHapusmakanya kaca nako dipake :)
BalasHapusrumah gw mungil :D
BalasHapusEmang elo tinggal di Bogor Doel ?
BalasHapusMungil yg penting asri Doel..
Eh itu ngomong2 makamnya Galang ternyata di deket rumahnya Iwan Fals juga ya..
BalasHapusgak miris tuh tiap hari lihat makam anak
yup, rumah ortu Teh ..:P
BalasHapusmerahnya bikin sakit bang....
BalasHapuswaduuhh....dikopi aja
BalasHapusbutuh hektaran bikin rumah kayak gituhh
BalasHapusminimalis juga okeh...(rumahnya dikebon Raya Bogor :)
BalasHapusganti background nya dong sob...
BalasHapuswah ternyata blognya jagi banyak mostingin iwan fals ya?
sukses cuy.....
gua suka ini
background yg mana ?
BalasHapusmumpung ada :)
sama2 semoga sukses juga
makasih..